Daftar Halaman

Jumat, 23 Maret 2012

Arsitektur Rumah Adat Wajo - Nagakeo - Flores

 Kampung Adat Wajo berada di Desa Wajo, Kecamatan Keo-Tengah, Kabupaten Nagekeo. Kabupaten ini secara geografis terletak diantara 80 26’ 00’’-80 64’ 40” Lintang Selatan dan 1210 6’ 20”-1210 32’ 00” Bujur Timur. Bagian Utara berbatasan dengan Laut Flores, bagian Selatan berbatasan dengan laut Sawu, bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Ende, sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Ngada.
Karakteristik Arsitektur Wajo dipengaruhi oleh tata letak dan pola perkampungannya, yang mana dari keadaan topografi kampung wajo ini menjadi penentuan hierarki (kedudukan) rumah Pemali (Sa’oPile), Bangunan megalitik, serta pelataran kegiatan ritual adat.
Pola Perkampungan adat wajo mengacu pada symbol persatuan yang kuat, yakni lingkaran, “PONDO” artinya “PERIUK”, perihal Sa’o Pile dan Pu Peo menjadi sentral orientasi bangunana disekitarnya.

Secara hierarki, dalam pola perkampungan adat wajo, rumah adat (“Sa’o Pilei”) dan Peo kedudukannya pada kontur yang paling tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh falsafah adat istiadat Masyarakat Wajo, bahwa ‘kepala sandar di gunung’ (bagian Utara), ‘kaki topang dilaut’ (bagian Selatan) “Udu mbeli kedi-ai ndeli mesi”, yang mengibaratkan situasi Arsitektur serta Pola perkampungan sebagai seekor Ular yang merupakan penunggu atau pelindung kampung adat Wajo. Hal ini membuktikan bahwa Mitis-Magis Masyarakat adat Wajo menjadi arahan serta pedoman dalam berarsitektur.

Hal ikhwal dalam Pola Perkampungan adat Wajo ini terdapat ketentuan-ketentuan khusus, misalnya arah jalan masuk, baik dalam keseharian maupun ritual adat, yakni harus melalui tangi Kodi, sebagai pintu masuk semua rangkaian kegiatan adat dengan ketentuan bila naik ke Sa’o Pile (Rumah Pemali), harus melepas alas kaki (sandal) dan mengenakan sarung adat.
Arah masuk kampung adat, dengan pola melingkar, dimulai dari arah kanan dan keluar harus mengitari Sa’o Pile dari arah kanan ke kiri, dengan ketentuan, jika sudah keluar dari perkampungan, sesuai adat  Range-tidak boleh kembali ke belakang (pada waktu yang bersamaan); (jarak) rumah kepala suku menjadi tata pola perkampungan adat wajo, yakni tiap kepala suku (ada 6 suku) masing-masing dipisahkan oleh 2 rumah Masyarakat biasa, dengan vocal point berupa dinding bambu ukiran (motif kain adat wajo).

Bangunan Arsitektur Wajo
Rumah Pemali (Sa’o Pile) dan Puu Peo menjadi kebanggaan dan bagian terpenting dalam pembentuk karakter orang Wajo.
Untuk Rumah Pemali (Sa’o Pile) terbentuk dari syair-syair lagu adat, yakni “Ndada ta”, dengan fungsi utama atau pokok, yaitu fungsi Sosial dan fungsi Religius.
Disebut memiliki fungsi Sosial, karena Rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat berkumpulnya warga kampung ataupun suku (6 suku) dan tempat bermusyawarah. Sedangkan disebut mempunyai fungsi Religius, karena rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat dilakukannya upacara adat dan sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka milik suku. Adanya Ruang Suci (Sakral) (Tubu nusu) dan benda-benda pusaka yang tidak boleh disentuh oleh Masyarakat awam, membuktikan bahwa rumah pemali, bukan saja sebagai tempat pemersatu semua suku, melainkan juga sebagai tempat tinggal Roh Leluhur (Retha).


SA’O PILE (RUMAH PEMALI)
Disebut Sa’o Pile (Rumah Pemali), karena merupakan tempat ritual adat dan tempat tinggal Roh Leluhur dengan fungsi tertentu pula.
Denah bangunan Sa’o Pile adalah persegi empat dengan dimensi 8m X 6m, berbentuk rumah panggung dan terdiri dari 2 lantai bangunan.
Secara khusus orientasi rumah pemali berdasarkan falsafah dan juga mitos, yakni Utara harus menghadap Gunung dan sebelah Selatan menghadap Sungai (lambang seekor Ular, penjaga kampung “Ine mbupu”).
Secara hierarki Sa’o Pile berada pada posisi yang paling tinggi, karena itu menjadi sentral yang mengarahkan pada Retha atau Mathemudu dedoe (Nenek Moyang dan Sang Pencipta).
Proses mendirikan Sa’o Pile ini memakan waktu kurang lebih 6 bulan dengan biaya yang mencapai ratusan juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa Rumah Pemali (Sa’o Pile) memiliki nilai dan makna yang berarti dan mahal, sehingga tidak sembarang dibangun, akan tetapi melalui ritual adat dengan ketentuan khusus pula, yang mana dikerjakan oleh semua warga kampung.


1) Cara Mendirikan Sa’o Pile (rumah Pemali)
Untuk mendirikan atau membangun Sa’o Pile, berdasarkan kesepakatan semua Suku (6 Suku), dalam ritual atau Upacara Adat, yakni :
Matu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat; 
Setelah semua anggota suku dengan keturunannya sudah berkumpul, ritual adat yang harus dijalankan yaitu meminta petunjuk, arahan sekaligus izin dari leluhur, yaitu “Tika” artinya member makan (sesajen) kepada leluhur (Ndewa rekta nee ngae rade);
Untuk mengumpulkan elemen-elemen (bahan-bahan) bangunan juga harus melalui ritual adat yakni “Raba taka” artinya mengasah parang pada waktu memotong tiang dan lain-lain terlebih dahulu didarahi dengan darah kerbau;  “Woti geri” artinya mengukir lambang-lambang atau symbol kebudayaan pada setiap elemen konstruksi.Pada saat membangun Sa’o Pile, elemen-elemen konstruksi langsung ditempatkan pada posisinya secara bertahap (tidak dirangkaikan terlebih dahulu), yakni :

Selasa, 20 Maret 2012

Lahirnya Kembali Arsitektur Nusantara


Waerebo

Desa Waerebo yang terletak di Kecamatan Satar Mese Barat,Kabupaten Manggarai,Flores,Nusa Tenggara Timur,telah lama terkenal di dunia. Ketenaran tersebut bukan semata-mata karena letak Desa Waerebo yang indah,tetapi juga karena mempunyai rumah yang bentuk dan fungsinya unik.Rumah-rumah di Waerebo berbentuk kerucut,tanpa jendela sama sekali dan jumlahnya hanya empat,jadilah kisah yang membuat Waerebo menjadi terkenal di negeri sendiri. Judul tulisan ini merupakan cukilan tulisan yang dibuat professor Josef Prijotomo,Guru Besar Arsitektur Institut Teknologi Surabaya,tentang Waerebo yang dimuat dalam buku Pesan Dari Waerebo (editor Yori Antar). Dalam tulisan tersebut prof.Josef  menekankan bahwapembanguanan kembali tiga rumah tradisional di Waerebo telah mengangkat beberapa kearifan arsitektur tradisional Indonesia,antara lain teknologi ikat pada sambungan struktur bangunan.
Selain itu,Prof.Josef  juga melihat bahwa pembangunan kembali tiga rumah tradisional di waerebo akan berdampak pada pemahaman ulang segenap pengetahuan arsitektur tradisional beserta tatanan dan gubah rupa yang
menyertainya. Menurut Prof.Josef ,teknologi ikat jauh lebih tua  usianya dibandingkan dengan teknologi paku yang juga tradisional.Ketidakrigidan teknologi ikat membuat sebuah bangunan menjadi fleksibel dan adaptif terhadap guncangan yang diakibatkan gempa bumi.

Rumah Kerucut

Jumlah rumah adat yang hanya tujuh selalu diusahakan untuk dipertahankan warga Waerebo sampai kapanpun. Untuk bertambah,jelas tidak akan dilakukan warga Waerebo karena memang tujuh adalah angka final. Namun jumlah itu menjadi berkurang akhirnya merupakan hal yang tidak bisa dihindari akibat kelapukan dan ketidakmampuan warga memperbaiki karena berbagai alasan. Rumah adat di Waerebo dalam bahasa lokal adalah mboru niang,terbauat dari rangka kayu diikat rotan kemudian dibungkus ijuk dan ilalang. Keawetan rumah terjadi akibat asap yang terus menerus mengeringkan dan mengasapinya dari dalam.Penduduk Waerebo memasak dengan tungku kayu tepat ditengah rumah itu.Dengan bentuknya yang seperti  kerucut,mboru niang memang hanya bisa dihuni manusia di bagian bawahnya.Selanjutnya di bagian rumah yang mengecil ke atas itu, terdapat beberapa balkon untuk sejumlah keperluan penyimpanan seperti makanan dan perlengkapan lain.
“Dari empat tersisa saat kami pertama kali ke sana pun,dua diantaranya sudah  reot dan bocor dimana-mana,” papar Yori Antar,Arsitek yang bersama rombongannya tiba di Waerebo pada Agustus 2008.Menyayangkan kalau Waerebo akhirnya punah,Yori kemudian dengan berbagai upaya berusaha mencari donatur agar jumlah rumah tradisional di Waerebo kembali lagi menjadi tujuh unit.Berbagai acara dan pameran digelar di Jakarta. Upaya Yori pun membuahkan hasil. Pada langkah awal,Tirto utomo Foundation bersedia membiayai perbaikan dua dari empat rumah tersisa.Dana sudah siap,tetapi kendala terbesar langsung menghadang,tak banyak informasi yang dimiliki tentang konstruksi rumah tradisional Waerebo itu.
“Akhirnya kami mempelajari konstruksi rumah tradisional Waerebo dengan cara membongkarnya lalu mempelajari dan mencatatnya.Kami perhatikan ukuran-ukurannya,kami perhatikan tipe-tipe ikatannya,dan kami cermati tipe-tipe pertemuan antar bloknya. Jadi perbaikan dua rumah di waerebo adalah awal pembangunan tiga lagi yang sudah punah,” kata Yori. Pameran yang diadakan tentang Waerebo pertengahan 2010 di Jakarta juga membuahkan hasil yang menggembirakan. Pengusaha Arifin Panigoro dan Laksamana Sukardi masing-masing bersedia mendanai sebuah rumah. Satu rumah lagi kembali didanai oleh Tirto Utomo Foundation. Biaya yang diperlukan untuk membangun sebuah rumah adat di Waerebo adalah Rp.250 juta.