Daftar Halaman

Sabtu, 26 September 2009

TENTANG WAKTU

Kenapa? Sebuah kata tanya yang belum Aku temukan jawabannya. Di atas bukit pernah Aku tanyakan tetapi hanya angin yang membisikkan derita. Di tepi lautan pernah ku lontarkan pula kata tanya Kenapa, meskipun deru ombak mampu membasahi peluhku.
Di mana lagi Aku harus bertanya Kenapa dan pada siapa ku bertanya. Siapapun yang Aku tanya pasti hanya menggelengkan kepala sambil berkata “Aku pun tak pernah bertemu dengan Kenapa”. Sadarku pada aliran sungai dengan gemericik air yang jernih di bawah kaki gunung. Aku berusaha menyadap pembicaraan dua antara Kau dan Waktu. Suara itu pelan sampai Aku berusaha merangkai kata-kata hasil sadapanku. Aku menemukan kata bahagia, cerita, dan keyakinan. Semakin pusing kepalaku, belum terjawab juga sampai detik ini.
Bahagia, cerita, dan keyakinan. Kata yang hilang itu akibat sunyinya malam dengan lampu-lampu merkuri yang malam belum turun hujan saat itu. Sebelum bertanya dengan orang lain, Aku mencoba bertanya pada diriku. Jawaban itu selalu (...) dan memang itu dari diriku. Tak berbentuk, tak berasa, dan sungguh absurd. Jawabanku memang bukan jawaban yang baik. Mungkin Kau bisa menjawabnya atau mungkin Waktu yang akan menjawab. Aku tahu antara Kau dan Waktu sangat dekat hubungannya.
Ataukah Aku tidak akan pernah menemukan jawaban itu sampai tidur yang panjang. Kau mencoba berpikir untuk menjawabnya. Kenapa yang belum terjawab dan Waktu semakin merintih. Kau jawab dengan awalan, Aku, dan berakhir tetapi itu bukan sebuah jawaban yang baik. Jawaban yang kedua pun juga tidak cukup adil yaitu aku lebih baik mencintai diriku sendiri. Kau pun tak bisa menjawabnya lagi. Pertanyaan yang sama yaitu Kenapa akan dicoba dijawab oleh Waktu. Perlahan-lahan Waktu mencoba berlari untuk mengejar bintang yang ada di langit untuk mencari jawaban.
Waktu yang masih pucat dengan anemia yang secara tiba-tiba. Anemia akibat dilema yang menyerang sebagian otak kiriku. Tolonglah pada Waktu untuk Aku memohon dari pertanyaan Kenapa. Waktu yang pernah sayang dan cinta, yang pernah mengisi cerita lalu, yang pernah memperhatikan nurani, dan yang pernah ada di antara mereka serta mereka yang pernah menghianati Waktu. Mungkinkah Waktu untuk melampiaskan itu hanya padaku. Kenapa? Kata tanya yang belum Aku temukan jawabannya.
Salahkah Aku bertanya terus tentang Kenapa pada Aku, Kau, dan Waktu? Sampai lelah merasakan cinta yang sesungguhnya pada alam bawah sadar. Kata tanya Kenapa yang selama ini Aku pikirkan, mungkin hanya tanya yang tak terjawab. Kau pun akan mengeluh sampai pada saatnya Kau akan tahu bahwa di antara mereka yang telah menghianatimu ada Aku yang bukan bagian dari mereka. Tetapi Aku mendapatkan hal yang sama dengan mereka yaitu sikap yang tidak manis oleh Waktu. Seandainya Waktu bisa bersikap manis, saling mengerti, dan saling memiliki. Aku sangat mencintai Waktu dan Kau

ANTARA CINTA DAN KESETIAAN

Cinta memang tidak pernah kering menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan. Cinta terukir dalam berbagai wujud, bisa dalam bentuk kata-kata, tindakan, suatu benda simbolis, dan banyak ragam tanda lainnya. Para seniman tak bosan-bosannya memilih tema cinta dalam karya-karyanya. Orang-orang (terutama para penikmat seni) juga tak pernah jengah dengan karya bernuansa cinta. Kategori ‘cengeng atau bermutu’ menjadi tak terlalu penting karena cinta menjadi suatu kebutuhan. Kadang kala orang butuh juga cinta berkarakter cengeng. Atau kadang orang juga memerlukan cinta yang tegar berjiwa heroik.
Cinta tidak berjalan sendiri. Ada kesetiaan. Kolaborasi cinta dan kesetiaan memperkaya khazanah kehidupan menjadi putih bersih beraura positif.
Jutaan bahkan mungkin miliaran karya seni dari abad ke abad menyenandungkan cinta dan kesetiaan. Cinta dan kesetiaan melahirkan hidup dan kehidupan baru.
Orang gembel – kaya, butuh cinta dan kesetiaan.
Orang kasar – romantis, juga mendambakan cinta-kesetiaan
Orang jahat (menurut penilaian umum) – dan kaum agamawan pun menginginkan cinta-kesetiaan. Manusia dan alam semesta menyenandungkan harmoni cinta dan kesetiaan secara universal – bebas dari SARA.
Cinta dan Kesetiaan – dua sisi dalam satu mata keping yang tidak terpisahkan. Cinta menjadi landasan sebuah Kesetiaan. Di dalam kesetiaan terkandung nilai cinta yang mempersatukan. Sulit membayangkan ada cinta berdiri sendiri tanpa disertai kesetiaan. Demikian pula sulit memahami, ada sebuah kesetiaan tanpa landasan cinta di dalamnya. Cinta tanpa kesetiaan adalah kosong. Dan kesetiaan tanpa didasari cinta adalah kepura-puraan. Dalam kesetiaan ada komitmen melayani tanpa pamrih tulus ikhlas apa adanya berlandaskan welas asih.
Cinta bermakna amat luas sebebas kesetiaan. Para pemikir barat klasik bahkan sampai memilah-milah arti dan perwujudan cinta ke dalam beberapa istilah. Ada eros untuk cinta bernuansa erotis dan romantis lebih bersifat fisik. Ada philia – sebuah cinta bernuansa kasih persaudaraan persahabatan. Dan ada pula agape untuk cinta yang bersifat spiritual – cinta kepada Sang Pencipta Mahakuasa dan sesama. Dan inilah level cinta tertinggi.
Masih ada banyak wujud cinta dan kesetiaan. Sebut saja, cinta kepada tanah air, cinta diri sendiri atau narsisstorge cinta pada keluarga. dan ada
Ada apa dengan cinta dan kesetiaan?
Cinta dan Kesetiaan tak selalu dipahami secara utuh dewasa. Makna cinta dan kesetiaan yang harmonis indah, kerap diseret ke dalam pemahaman yang sempit gelap demi kepentingan pribadi.
Dunia sosial politik kekuasaan dengan para aktornya sering menyeret cinta dan kesetiaan yang suci tulus ke dunia yang sempit dangkal. Maka lahirlah kaum penjilat dan loyalis semu. Kelompok ini ada dan hidup di mana-mana – di sekitar kita hingga detik ini.
Banyak contoh di mana penguasa dan kaum loyalis suatu ideologi (parpol) yang sedang berkuasa menindas yang lemah mengabaikan makna cinta dan kesetiaan. Bahkan lebih jauh, telah membawa cinta dan kesetiaan ke dalam lahan tindak anarkis kriminal. Penyelewengan terhadap makna cinta dan kesetiaan, akan melahirkan ketidakadilan bahkan pengkhianatan terhadap nilai inti kehidupan: welas asih yang harmonis.
Dulu di daratan Eropa, sejarah cinta mencatat Kaisar Claudius II telah membunuh energi cinta kaum muda. Para pemuda (pasangan muda) dilarang melakukan perkawinan. Sang Kaisar bertitah, kaum muda dengan energinya yang perkasa lebih tepat jadi tentara untuk kepentingan perang. Pasangan kaum muda dilarang keras melakukan perkawinan.
Seorang filsuf humanis yang juga rohaniwan, Valentine menentang kebijakan kaisar dengan menikahkan pasangan-pasangan muda yang sedang mabuk cinta. Valentine pun lalu dihukum mati karena dianggap melawan titah kaisar.
Di negeri ini banyak kelompok orang yang cepat “emosi” ngamuk bergaya barbar ketika ada kelompok lain yang berbeda, tidak sewarna, sepaham – sealiran – seideologi. Saling serang secara fisik dan saling menyakiti. Yang lebih mengerikan lagi jika membawa-bawa dan mengatasnamakan TUHAN – Sang Maha Kuasa – Pencipta – Maha Pengampun dan Sang Maha Welas Asih untuk merusak, menyakiti, dan membunuh sesama hanya karena berbeda. Memangnya, siapa manusia? Di ruang yang lebih kecil, di kantor misalnya, orang yang tidak senada seirama ditekan, diadu domba, dan disingkirkan bahkan dibunuh karakternya.
Negeri ini sejatinya bukan hanya sedang dilanda sakit kemiskinan dan kebodohan yang parah, tapi juga sedang mengidap sakit pengkhianatan cinta dan kesetiaan terhadap hidup harmonis dan welas asih.
Salam Cinta dan Kesetiaan.