Kampung Adat Wajo berada di Desa Wajo,
Kecamatan Keo-Tengah, Kabupaten Nagekeo. Kabupaten ini secara geografis
terletak diantara 80 26’ 00’’-80 64’ 40” Lintang Selatan dan 1210 6’ 20”-1210
32’ 00” Bujur Timur. Bagian Utara berbatasan dengan Laut Flores, bagian Selatan
berbatasan dengan laut Sawu, bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Ende,
sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Ngada.
Karakteristik Arsitektur Wajo dipengaruhi oleh tata letak dan pola perkampungannya, yang mana dari keadaan topografi kampung wajo ini menjadi penentuan hierarki (kedudukan) rumah Pemali (Sa’oPile), Bangunan megalitik, serta pelataran kegiatan ritual adat.
Pola Perkampungan adat wajo mengacu pada symbol persatuan yang kuat, yakni lingkaran, “PONDO” artinya “PERIUK”, perihal Sa’o Pile dan Pu Peo menjadi sentral orientasi bangunana disekitarnya.
Secara hierarki, dalam pola perkampungan adat wajo, rumah adat (“Sa’o Pilei”) dan Peo kedudukannya pada kontur yang paling tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh falsafah adat istiadat Masyarakat Wajo, bahwa ‘kepala sandar di gunung’ (bagian Utara), ‘kaki topang dilaut’ (bagian Selatan) “Udu mbeli kedi-ai ndeli mesi”, yang mengibaratkan situasi Arsitektur serta Pola perkampungan sebagai seekor Ular yang merupakan penunggu atau pelindung kampung adat Wajo. Hal ini membuktikan bahwa Mitis-Magis Masyarakat adat Wajo menjadi arahan serta pedoman dalam berarsitektur.
Karakteristik Arsitektur Wajo dipengaruhi oleh tata letak dan pola perkampungannya, yang mana dari keadaan topografi kampung wajo ini menjadi penentuan hierarki (kedudukan) rumah Pemali (Sa’oPile), Bangunan megalitik, serta pelataran kegiatan ritual adat.
Pola Perkampungan adat wajo mengacu pada symbol persatuan yang kuat, yakni lingkaran, “PONDO” artinya “PERIUK”, perihal Sa’o Pile dan Pu Peo menjadi sentral orientasi bangunana disekitarnya.
Secara hierarki, dalam pola perkampungan adat wajo, rumah adat (“Sa’o Pilei”) dan Peo kedudukannya pada kontur yang paling tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh falsafah adat istiadat Masyarakat Wajo, bahwa ‘kepala sandar di gunung’ (bagian Utara), ‘kaki topang dilaut’ (bagian Selatan) “Udu mbeli kedi-ai ndeli mesi”, yang mengibaratkan situasi Arsitektur serta Pola perkampungan sebagai seekor Ular yang merupakan penunggu atau pelindung kampung adat Wajo. Hal ini membuktikan bahwa Mitis-Magis Masyarakat adat Wajo menjadi arahan serta pedoman dalam berarsitektur.
Hal ikhwal dalam Pola Perkampungan adat Wajo ini terdapat
ketentuan-ketentuan khusus, misalnya arah jalan masuk, baik dalam keseharian
maupun ritual adat, yakni harus melalui tangi Kodi, sebagai pintu masuk semua
rangkaian kegiatan adat dengan ketentuan bila naik ke Sa’o Pile (Rumah Pemali),
harus melepas alas kaki (sandal) dan mengenakan sarung adat.
Arah masuk kampung adat, dengan pola melingkar, dimulai dari arah kanan dan keluar harus mengitari Sa’o Pile dari arah kanan ke kiri, dengan ketentuan, jika sudah keluar dari perkampungan, sesuai adat Range-tidak boleh kembali ke belakang (pada waktu yang bersamaan); (jarak) rumah kepala suku menjadi tata pola perkampungan adat wajo, yakni tiap kepala suku (ada 6 suku) masing-masing dipisahkan oleh 2 rumah Masyarakat biasa, dengan vocal point berupa dinding bambu ukiran (motif kain adat wajo).
Arah masuk kampung adat, dengan pola melingkar, dimulai dari arah kanan dan keluar harus mengitari Sa’o Pile dari arah kanan ke kiri, dengan ketentuan, jika sudah keluar dari perkampungan, sesuai adat Range-tidak boleh kembali ke belakang (pada waktu yang bersamaan); (jarak) rumah kepala suku menjadi tata pola perkampungan adat wajo, yakni tiap kepala suku (ada 6 suku) masing-masing dipisahkan oleh 2 rumah Masyarakat biasa, dengan vocal point berupa dinding bambu ukiran (motif kain adat wajo).
Bangunan Arsitektur Wajo
Rumah Pemali (Sa’o Pile) dan Puu Peo menjadi kebanggaan dan bagian terpenting dalam pembentuk karakter orang Wajo.
Untuk Rumah Pemali (Sa’o Pile) terbentuk dari syair-syair lagu adat, yakni “Ndada ta”, dengan fungsi utama atau pokok, yaitu fungsi Sosial dan fungsi Religius.
Disebut memiliki fungsi Sosial, karena Rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat berkumpulnya warga kampung ataupun suku (6 suku) dan tempat bermusyawarah. Sedangkan disebut mempunyai fungsi Religius, karena rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat dilakukannya upacara adat dan sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka milik suku. Adanya Ruang Suci (Sakral) (Tubu nusu) dan benda-benda pusaka yang tidak boleh disentuh oleh Masyarakat awam, membuktikan bahwa rumah pemali, bukan saja sebagai tempat pemersatu semua suku, melainkan juga sebagai tempat tinggal Roh Leluhur (Retha).
SA’O PILE (RUMAH PEMALI)
Disebut Sa’o Pile (Rumah Pemali), karena merupakan tempat ritual adat dan tempat tinggal Roh Leluhur dengan fungsi tertentu pula.
Rumah Pemali (Sa’o Pile) dan Puu Peo menjadi kebanggaan dan bagian terpenting dalam pembentuk karakter orang Wajo.
Untuk Rumah Pemali (Sa’o Pile) terbentuk dari syair-syair lagu adat, yakni “Ndada ta”, dengan fungsi utama atau pokok, yaitu fungsi Sosial dan fungsi Religius.
Disebut memiliki fungsi Sosial, karena Rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat berkumpulnya warga kampung ataupun suku (6 suku) dan tempat bermusyawarah. Sedangkan disebut mempunyai fungsi Religius, karena rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat dilakukannya upacara adat dan sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka milik suku. Adanya Ruang Suci (Sakral) (Tubu nusu) dan benda-benda pusaka yang tidak boleh disentuh oleh Masyarakat awam, membuktikan bahwa rumah pemali, bukan saja sebagai tempat pemersatu semua suku, melainkan juga sebagai tempat tinggal Roh Leluhur (Retha).
SA’O PILE (RUMAH PEMALI)
Disebut Sa’o Pile (Rumah Pemali), karena merupakan tempat ritual adat dan tempat tinggal Roh Leluhur dengan fungsi tertentu pula.
Denah bangunan Sa’o Pile adalah persegi empat
dengan dimensi 8m X 6m, berbentuk rumah panggung dan terdiri dari 2 lantai
bangunan.
Secara khusus orientasi rumah pemali berdasarkan falsafah dan juga mitos, yakni Utara harus menghadap Gunung dan sebelah Selatan menghadap Sungai (lambang seekor Ular, penjaga kampung “Ine mbupu”).
Secara hierarki Sa’o Pile berada pada posisi yang paling tinggi, karena itu menjadi sentral yang mengarahkan pada Retha atau Mathemudu dedoe (Nenek Moyang dan Sang Pencipta).
Proses mendirikan Sa’o Pile ini memakan waktu kurang lebih 6 bulan dengan biaya yang mencapai ratusan juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa Rumah Pemali (Sa’o Pile) memiliki nilai dan makna yang berarti dan mahal, sehingga tidak sembarang dibangun, akan tetapi melalui ritual adat dengan ketentuan khusus pula, yang mana dikerjakan oleh semua warga kampung.
Secara khusus orientasi rumah pemali berdasarkan falsafah dan juga mitos, yakni Utara harus menghadap Gunung dan sebelah Selatan menghadap Sungai (lambang seekor Ular, penjaga kampung “Ine mbupu”).
Secara hierarki Sa’o Pile berada pada posisi yang paling tinggi, karena itu menjadi sentral yang mengarahkan pada Retha atau Mathemudu dedoe (Nenek Moyang dan Sang Pencipta).
Proses mendirikan Sa’o Pile ini memakan waktu kurang lebih 6 bulan dengan biaya yang mencapai ratusan juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa Rumah Pemali (Sa’o Pile) memiliki nilai dan makna yang berarti dan mahal, sehingga tidak sembarang dibangun, akan tetapi melalui ritual adat dengan ketentuan khusus pula, yang mana dikerjakan oleh semua warga kampung.
1) Cara Mendirikan Sa’o Pile (rumah Pemali)
Untuk mendirikan atau membangun Sa’o Pile, berdasarkan kesepakatan semua Suku (6 Suku), dalam ritual atau Upacara Adat, yakni :
Matu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat;
Setelah semua anggota suku dengan keturunannya sudah berkumpul, ritual adat yang harus dijalankan yaitu meminta petunjuk, arahan sekaligus izin dari leluhur, yaitu “Tika” artinya member makan (sesajen) kepada leluhur (Ndewa rekta nee ngae rade);
Untuk mendirikan atau membangun Sa’o Pile, berdasarkan kesepakatan semua Suku (6 Suku), dalam ritual atau Upacara Adat, yakni :
Matu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat;
Setelah semua anggota suku dengan keturunannya sudah berkumpul, ritual adat yang harus dijalankan yaitu meminta petunjuk, arahan sekaligus izin dari leluhur, yaitu “Tika” artinya member makan (sesajen) kepada leluhur (Ndewa rekta nee ngae rade);
Untuk mengumpulkan elemen-elemen (bahan-bahan) bangunan juga harus
melalui ritual adat yakni “Raba taka” artinya mengasah parang pada waktu
memotong tiang dan lain-lain terlebih dahulu didarahi dengan darah kerbau;
“Woti geri” artinya mengukir lambang-lambang atau symbol kebudayaan pada
setiap elemen konstruksi.Pada saat membangun Sa’o Pile, elemen-elemen konstruksi
langsung ditempatkan pada posisinya secara bertahap (tidak dirangkaikan
terlebih dahulu), yakni :
- Mendirikan tiang utama (Deke). Tiang utama tersebut berjumlah 6, yakni didirikan sesuai lingkaran suku
dari kanan ke kiri, melambangkan suku-suku yang ada ; Emb lau; Embumbani, Koto bhisu mena;, Koto bhisu Rade; Jemu dhedhe wawo; Jemu dhedhe wena.
Tiang utama (Deke), harus menggunakan kayu khusus yaitu “kaju embu” yang diambil dari kebun pribadi Masyarakat Wajo, yakni di Nio budha, Ae toe, natu dan Baomau, penuh ukiran dengan system konstruksi ditanam dalam tanah, beralaskan batu ceper (Watu) dan dibalut oleh tali Ijo (ijuk) system Umpak batu. - Tiang utama menopang “Tenga” (sloff bawah) yaitu balok berbentuk kuda “Kaju mali kuda”, diambil dari ,undemi (Kebun) dengan system konstruksi “Monge”.
- Karena merupakan rumah panggung, Sa’o Pile terdiri dari beberapa
tangga yang harus ditapaki (dilewati bertahap), yakni :
- Ngi kajo, yaitu tangga pertama, berupa balok panjang.
- Kana wari, disebut sebagai jembatan ke rumah adat, yang dibantu dengan seutas tali ijo (konon menggunakan ekor kerbau), terbuat dari Kaju Oja yang diambil di “lewa”. Kana wari ini dilengkapi dengan ornament berupa patung yang diyakini sebagai penjaga pintu masuk Rumah Pemali (“Ana Jeo”) yakni ;
- Daki Weke (sebelah kiri);
- Nenbo Neke (sebelah kanan)Konon dua patung ini adalah Ana jeo, yaitu 2 orang anak yang menjaga seluruh kampung adat Wajo;
- Kodi Panda Yakni balok lantai pembatas pintu masuk (Wesa) dengan Kana wari. Bagi Masyarakat wajo, aturan atau pantangan memasuki rumah pemali adalah tidak boleh terantuk (tersandung) pada balok Kodi panda. Hal ini menandakan tidak diperkenankan untuk masuk ke Sa’o Pile (Pemali).
- Wisu (kaju mbaa tolo), Yakni kayu merah ½ dinding sebagai bagian konstruksi kolom-kolom pembentuk dindiding, diambil di Koi (Kebun).
- Lantai “kembi”, terbuat dari belahan bambu dengan menggunakan konstruksi ikat silam dengan tali “Nao” (fii bheto) pada fii kodi ( balok lantai) atau Dado Kodi.
- Rumah Sa’o Pile berbentuk limas, sehingga jenis atapnya menggunakan jurai dengan konstruksi diikat oleh tali ijo (tali ijuk), yakni :
- Soku dok, yakni balok Jurai;
- Mangu atau mbaa tolo yakni tiang nok, dari kayu merah;
- Kada peda, yakni ½ kuda-kuda;
- Soku papa, yakni gording dari bambu;
- Pama lindi, yakni papan list plank penuh ukiran;
- Alang-alang dan ijuk pada jurai, dikumpulkan dari masing-masing suku. Konstruksi alang-alang ini diapit oleh bambu dengan ukuran 1 meter dan diikat pada reng bambu dengan jarak 0,5 meter. h. Loteng atau Kodi Panda
- Kodi panda yakni ruang pada lantai 2 yang difungsikan sebagai tempat
memanggil atau mengumpulkan semua warga kampung untuk mempersiapkan peralatan
perang jika ada peperangan. Biasanya cara mengumpulkan semua warga kampung Wajo
diiringi dengan musik gong, gendang, suling dan juga syair-syair lagu.
2) Upacara Adat dalam mendirikan Sa’o Pile (Rumah pemali)
Tujuan mengadakan upacara atau ritual adat dalam membangun rumah pemali, diyakini oleh masyarakat adat Wajo “sebagai wujud permintaan kepada leluhur untuk melindungi anak cucunya dari seluruh anggota suku agar sehat dan berhasil dalam membangun (Mbinge woso kupa) mengembangkan keturunan agar generasi-generasi berkembanga pesat”.Mutu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk (berdialog) untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat;
Tujuan mengadakan upacara atau ritual adat dalam membangun rumah pemali, diyakini oleh masyarakat adat Wajo “sebagai wujud permintaan kepada leluhur untuk melindungi anak cucunya dari seluruh anggota suku agar sehat dan berhasil dalam membangun (Mbinge woso kupa) mengembangkan keturunan agar generasi-generasi berkembanga pesat”.Mutu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk (berdialog) untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat;
- Tika, yakni memberi sasajen (makan) kepada leluhur (“ndewa rekta nee ngae rade”);
- Raba taka, yakni upacara mengasah parang pada waktu memotong tiang dan bahan lainnya yang terlebih dahulu didarahi oleh darah kerbau;
- Woti geri, yakni upacara mengukir lambang-lambang atau symbol kebudayaan Wajo;
- Lombo lindi, yakni memotong alang-alang agar rapih (finishing);
- Pije puu, meletakkan tanah di sekitar tiang dan peo agar kuat yang didarahi dengan darah kerbau. Dalam ritual adat hewan yang menjadi kurban pokok yaitu babi, digunakan untuk mendarahi kayu-kayu atau alang-alang selama masih di hutan atau kebun, dan kerbau, digunakan untuk mendarahi bahan-bahan bangunan disuatu tempat untuk siap dibangun (izin pada penunggu pohon). Selain itu tarian yang digunakan selama upacara adat yaitu tarian Pute wutu oleh ana susu. Menurut masyarakat Wajo rumah sa’o pile dibangun berdasarkan syair-syair lagu “Ndada ta”.
3) Denah dan Pola Ruang
Denah dan pola ruang dalam tatanan arsitektur Tradisional (Vernakular) Wajo memiliki pola pikir yang bersifat sakral dan selalu dapat ditinjau secara hierarkis, yaitu horizontal dan vertikal.
Rumah pemali Sa’o Pile tergolong tipologi rumah panggung, terdiri dari dua lantai yang mana bertitikan pada ruang tengah yang ditandai oleh adanya ruang suci yang dikeramatkan.
Secara horizontal, pola ruang rumah pemali selalu dikaitkan dengan kehidupan profan, dengan tuntutan aktivitas seperti, makan bersama, memasak (Dika) dan bersosialisasi. Sedangkan secara vertikal selalu berhubungan dengan hal-hal kosmik dan sakral, karena pada ruangan tersebut juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan aktivitas adat (Upacara adat) yang bersifat sakral dan suci.
Disisi lain, secara adat istiadat Wajo terdapat pemisahan ruang yang memiliki sejumlah larangan, misalnya pembagian ruang masak (Wanita tidak boleh melewati pembatas antara ruang Dika/dapur dalam rumah pemali) yang dipisahkan oleh sebatang bambu dengan ukuran yang berbeda. Secara Vertikal arsitektur Wajo ini ditandai dengan adanya ruang upacara adat (ruang suci) yang dipisahkan oleh sebatang balok melintang. Dalam sumbu vertikal ini sangat jelas membedakan fungsi suatu ruang dari atas ke bawah atau dari yang keramat (pemali) sampai yang biasa, merupakan manifestasi dari dunia atas (dunia para dewa atau leluhur), dunia tengah (tempat manusia) dan dunia bawah (binatang dan roh jahat).
Tatanan pola ruang luar pada permukiman (perkampungan) adat Wajo juga pada dasarnya memiliki konsep dan hierarki ruang yagn identik sama dengan pola atau hirarki pada tat ruang dalam rumah pemali. Inti dari ruang luar ini pada pola tapak “Pondo” adalah kehadiran bangunan megalitik, Pu’u Peo, Peo Aki dan juga pelataran terbuka dalam lingkup kosmik gagasan Masyarakat Wajo dari jaman leluhur terdahulu.
4) Ornamen dan Ragam Hias
Ornament dan Ragam Hias pada Arsitektur Tradisional (Vernakular) adat Wajo yang terdapat dalam Rumah pemali (Sa’o Pile) memiliki banyak makna, norma, serta larangan tertentu sesuai perletakan yang hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu pula dari bangunan tersebut. Dari segi bentuk ragam hias ini sangat bervariasi, yakni berupa garis lurus, garis langkung (dengan komposisi tertentu), balah ketupat, flora (Kuntum bunga), fauna (binatang), manusia (sosok manusia, organ tertentu wanita, seperti payudara, dan patung), serta benda-benda langit (bulan, bintang, dan matahari). Ragam hias dengan komposisi garis-garis lengkung umumnya bersosok sesuatu benda yang menunjukkan keberadaan benda-benda pusaka atau benda berharga lainnya yang tersimpan di dalam Rumah pemali
Denah dan pola ruang dalam tatanan arsitektur Tradisional (Vernakular) Wajo memiliki pola pikir yang bersifat sakral dan selalu dapat ditinjau secara hierarkis, yaitu horizontal dan vertikal.
Rumah pemali Sa’o Pile tergolong tipologi rumah panggung, terdiri dari dua lantai yang mana bertitikan pada ruang tengah yang ditandai oleh adanya ruang suci yang dikeramatkan.
Secara horizontal, pola ruang rumah pemali selalu dikaitkan dengan kehidupan profan, dengan tuntutan aktivitas seperti, makan bersama, memasak (Dika) dan bersosialisasi. Sedangkan secara vertikal selalu berhubungan dengan hal-hal kosmik dan sakral, karena pada ruangan tersebut juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan aktivitas adat (Upacara adat) yang bersifat sakral dan suci.
Disisi lain, secara adat istiadat Wajo terdapat pemisahan ruang yang memiliki sejumlah larangan, misalnya pembagian ruang masak (Wanita tidak boleh melewati pembatas antara ruang Dika/dapur dalam rumah pemali) yang dipisahkan oleh sebatang bambu dengan ukuran yang berbeda. Secara Vertikal arsitektur Wajo ini ditandai dengan adanya ruang upacara adat (ruang suci) yang dipisahkan oleh sebatang balok melintang. Dalam sumbu vertikal ini sangat jelas membedakan fungsi suatu ruang dari atas ke bawah atau dari yang keramat (pemali) sampai yang biasa, merupakan manifestasi dari dunia atas (dunia para dewa atau leluhur), dunia tengah (tempat manusia) dan dunia bawah (binatang dan roh jahat).
Tatanan pola ruang luar pada permukiman (perkampungan) adat Wajo juga pada dasarnya memiliki konsep dan hierarki ruang yagn identik sama dengan pola atau hirarki pada tat ruang dalam rumah pemali. Inti dari ruang luar ini pada pola tapak “Pondo” adalah kehadiran bangunan megalitik, Pu’u Peo, Peo Aki dan juga pelataran terbuka dalam lingkup kosmik gagasan Masyarakat Wajo dari jaman leluhur terdahulu.
4) Ornamen dan Ragam Hias
Ornament dan Ragam Hias pada Arsitektur Tradisional (Vernakular) adat Wajo yang terdapat dalam Rumah pemali (Sa’o Pile) memiliki banyak makna, norma, serta larangan tertentu sesuai perletakan yang hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu pula dari bangunan tersebut. Dari segi bentuk ragam hias ini sangat bervariasi, yakni berupa garis lurus, garis langkung (dengan komposisi tertentu), balah ketupat, flora (Kuntum bunga), fauna (binatang), manusia (sosok manusia, organ tertentu wanita, seperti payudara, dan patung), serta benda-benda langit (bulan, bintang, dan matahari). Ragam hias dengan komposisi garis-garis lengkung umumnya bersosok sesuatu benda yang menunjukkan keberadaan benda-benda pusaka atau benda berharga lainnya yang tersimpan di dalam Rumah pemali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar